Telapak kaki surga


“Mmm.. jam berapa ini?” aku berjalan ke kamar mandi untuk buang air kecil dan kembali ke kamar. Suasana masih gelap, udarapun masih sangat dingin, menusuk pori-pori meskipun aku berada di dalam rumah. Sekarang ini masih bulan januari dan perkiraan cuaca masih buruk sampai mungkin satu bulan kedepan. Dengan berjalan sempoyongan akhirnya aku sampai di ranjangku yang empuk, sambil terbaring aku mencari ponselku yang bersembunyi dibawah bantal.
“Oh.. ternyata masih jam 4.” Ku taruh ponselku kembali ke tempat semula dan mulai memejamkan kelopak mata. Seandainya aku bangun dan mandi jam segini pasti aku nggak akan terlambat beramgkat sekolah, aku pengen sehari aja nggak dimarahi guru, batinku. Aku berusaha mengangkat kepalaku dan terdiam mencoba bertahan dengan duduk. Perlahan kubuka mata dan sepertinya ia tak mau terbuka sehingga terpejam kembali. Namun, aku tak mau menyerah, aku buka lagi dan lagi sampai akhirnya terbuka dan tak tertutup lagi. Tanganku bergerak meraba kasur dibawah bantal lalu kutemukan ponselku kembali. Ah, ternyata sebentar saja aku menutup mata, waktu sudah setengah jam berlalu.
“04.36.” aku mulai berfikir, “kok nggak ada alarm sih?” aku terdiam, “ah ternyata hari minggu.” Dengan sedikit menyesal karena terbangun, akhirnya kulemparkan lagi tubuhku ke kasur. Nanti aja sholat subuh jam lima lebih.
“Ardi! Nak!” Suara itu, hmm aku terbangun dan melihat ponsel. Aduh, jam lima masih kurang sepuluh menit, kenapa harus diganggu sih, batinku.
“Ardi masih ngantuk bu.” Sahutku.
“Nak tolong bangun. Tolong anterin ibu ke pasar, jam tujuh bapakmu pulang. Ibumu ndak punya ikan untuk dimasak.” Tutur ibu.
“Bu.. plis Ardi kemaren tidur malem loh bu.”
“Sebentar aja nak. Nanti tidur lagi deh kalau sudah pulang.” Ibu tetap memaksa.
“Aduh bu plis plis plis, Ardi nggak kuat. Bentar lagi deh setengah enam. Biar Ardi tidur dulu.” Aku merengek.
“Yasudah ibu berangkat sendiri aja.” Akhirnya ibupun mengalah. Aku diam tak menjawab, dan melupakan perintah ibu lalu tertidur kembali.
“Ibu!!!.” Aku tersentak dan bangun dari tidurku. Kok ibu berangkat sendiri sih?. aku langsung berdiri, tanganku meraih kaos di gantungan belakang pintu kamar. Aku kenakan kaos sambil berlari menyusul ibu. Jarak antara rumah dan pasar cukup jauh, sehingga harus mengendarai sepeda atau naik angkutan umum. Jika ibu pergi sendiri, itu berarti ibu harus naik angkutan umum dan jelas beliau harus berjalan ke pinggir jalan. Sedangkan perjalanan ke pinggir jalan berjarak sekitar 200 meter lebih. Kenapa aku ngomel sih tadi?.
Aku terus berlari dan sepertinya kali ini aku tak merasakan lelah sedikit pun. Meskipun aku berlari secepat yang kubisa, tapi nafasku tak terengah sama sekali. Kuperhatikan langkah kaki ini, terlihat begitu cepat diatas aspal yang kasar. Aku hampir sampai, aku melihat ibu tengah menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri hendak menyeberang jalan.
“Ibu! Ibu!.” Aku memanggilnya sambil berlari namun sepertinya ibu tak mendengar. Sekarang ibu mulai melangkahkan kakinya untuk menyeberang jalan,”ibu! Ibu!” aku terus memanggilnya.
“BRRAAKK!”
“IBUUUUU!!!!!” aku berteriak sekeras-kerasnya. Seorang pengendara yang sedang mabuk mengendarai motornya dengan sangat cepat. Seketika mobil angkutan berhenti, pengendara motor itu menyalip tanpa memperhatikan ibu yang tengah menyeberang. Segera kupacu langkah mendatangi tempat keberadaan ibu. Aku melihat ibu yang berlumur darah di bagian kepala, tergeletak lemah tak sadarkan diri. Kuraih tangannya, mencoba mencari denyut nadinya dan kutelusuri setiap pergelangan tangan, namun tak kutemukan getaran sedikitpun disana. Hatiku mulai koyak, tanganku mulai bergerak lagi meraba lehernya, namun masih sama aku tak merasakan getaran sedikitpun.
“Bu.. bu..” airmataku mulai mengalir semakin lama semakin deras. Semua orang hanya mematung, tak ada yang bergerak tak ada yang menolong. Semua hanya melihatku dan ibu seperti sebuah sinetron. Kudekati wajahnya, pipiku mencoba merasakan nafasnya. Mana? Mana?. Ku terus mencari, menempelkan pipi, dahi, tangan kedepan lubang hidung ibu, hingga darah mengotori wajah dan tanganku. Kini aku sadar bahwa ibu telah tiada.
Aku terus menangis dan berteriak sekencang-kencangnya. Aku adalah anak yang bodoh, aku bodoh. Mulutku tak henti hentinya memaki diri sendiri. Tanganku terus memukul-mukul kepala dan menarik rambutku sambil tertunduk di depan jasad ibu. Kemudian aku teringat, siapa dia yang ceroboh yang telah melukai ibuku. Dengan sangat marah aku berdiri lalu berjalan melewati manusia-manusia yang hanya berdiri melingkari aku dan ibu. Aku mencari pemabuk itu, menoleh ke kanan dan kiri, tak ada apa-apa. Aku terus mencari dan berjalan sedikit jauh, dimana orang itu?. Mengapa disaat kecelakaan seperti ini, jalanan terlihat sepi. Aku menoleh ke belakang.
“Ibu…” aku terbangun. Ada sedikit keringat membasahi keningku. Nafasku terengah-engah, mataku terbelalak. Dimana ibu? Kucoba memutar memori yang lalu. Astaga ibu ke pasar, ah mana ponselku?. Setelah kutemukan ponsel yang sudah bergerak jauh di bawah pantatku, segera aku menelfon ibu.
“Hallo assalamu’alaikum. Kenapa nak?” tutur ibu.
“ibu dimana?”
“Ibu masih dipinggir jalan nunggu angkot. Dari tadi nggak ada angkot.”
“Bu.. ibu diam disitu jangan bergerak. Aku sekarang mau berangkat nganterin ibu ke pasar. Tunggu pokoknya.”
“Oke oke ibu tunggu.” Jawab ibu. Segera kumatikan ponsel, seperti di mimpi aku mengambil kaos di gantungan belakang pintu dan berjalan sambil mengenakannya. Breemm aku menyalakan motor dan pergi menemui ibu.
“Sudah lama nunggu bu?” tanyaku.
“Yah, lumayan. Daritadi angkot sepi di. Kamu sudah bangun nak?”
“Iya bu. Ayo ke pasar.” Ibu naik ke motor dan duduk dengan kedua kaki bersebelahan disamping kiri.
“Hati-hati roknya bu. Dipengang.”
“Iya di.”
“Bu.. aku mau jujur tapi jangan marah ya?”
“Apa di?”
“Aku tadi belum sholat subuh. hehee” Kataku malu.
“Kok bisa?” ibu memukul pelan punggungku,”anak pinter, nanti habis pulang langsung diganti. Tadi seharusnya ya sholat dulu baru nganter ibu.”
“Oke bu maaf. Kasian bapak bu, nanti nggak ada makanan pas pulang.” Aku mengelak.
“Iya sudah ayo cepet nyampek pasar. Jangan pelan-pelan gini toh nak. Ndak nyampe-nyampe nanti.”
“Iya sabar bu. Cerewet ibu ini, pantes bapak nggak pulang-pulang. Capek istrinya cerewet. hehee” Celotehanku, ibupun tertawa sambil menepuk-nepuk pundakku. Terkadang hal kecil saja akan membawa masalah besar. Namun bukan karena kecil yang menjadi besar, melainkan seberapa berharga sesuatu yang akan hilang karena kesalahan kecil. Seorang ibu amatlah berharga segalanya.  Kasih sayangnya, pengorbanananya, begitu pula do’annya. Sehingga, tak pantas bila menolakknya karena perkara , apalagi sebuah perkara yang amat ringan.
***

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Telapak kaki surga"

Posting Komentar

Popular

Categories