matahari begitu terik menyengat di atas ubun-ubun hingga menembus
ke otak. Kaki kapalan terus melangkah hingga sampai pada ujung jalan. Membawa
sekarung botol plastik yang ia kumpulkan sejak 2 hari lalu. Achmad melambaikan
tangan kirinya untuk menghentikan mobil angkutan yang tengah melintas. Setelah
sekian lama ia menunggu, akhirnya sebuah mobil berhenti tepat di depannya.
Dengan perlahan ia menaiki bagian depan sebelah pak sopir, diikuti dengan
sekarung besar botol plastiknya. Mobil berjalan lamban.
“disini bang.” Achmad berhenti di salah satu sudut jalan tepatnya
di sebuah rumah kecil yang terbuat dari irisan kayu pring yang disimpul. Dan
atapnya seperti tumpukan jerami. Bagian belakang terdapat begitu banyak
barang-barang plastik dan membentuk seakan-akan gunung rongsokan.
“ini 15.000 ya.”
“iya bang.” Dengan perlahan Achmad menjulurkan tangan kanannya dan
meraih 3 lembar uang Rp 5000 tersebut. “makasih bang.” Seulas senyum tergurat
di wajahnya yang dipenuhi dengan keringat akibat terik matahari. Tanpa banyak
berfikir ia bergegas pergi, seperti sebelumnya ia sedang menunggu kedatangan
angkot untuk membawanya ke kota.
Semakin lama matahari semakin naik, aspal bertambah suhunya dan
angkot tak terlihat lagi di jalan sejauh mata memandang. Pandangannya menunduk
sambil berjalan perlahan menyusuri jalanan, sesekali ia memeperhatikan
sekeliling, dedaunan yang tertancap pada ranting pohon mulai menguning, begitu
pula rerumputan yang mengitarinya. Seperti biasanya bulan Ramadhan selalu
memberi hawa kehausan bagi umat islam. Betapa tidak, musim kemarau pasti
mengepung salah satu belahan bumi bagian Timur yaitu Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama islam.
Sesekali ia menelan air liurnya sendiri, mencoba mengurangi rasa
haus yang kini telah menyakiti kerongkongannya. Sesekali pula ia duduk
bertengger di atas batu besar sebelah jalan berpasir itu, kemudian melanjutkan
perjalanan ketika rasa lelah mulai berkurang. “krucuuk..” suara perut seseorang
yang tengah berpuasa terdengar cukup keras. Pagi tadi Achmad tak mengisi lambungnya
dengan secuil makanan pun kecuali setengah gelas air mineral. Uang yang
dipakainya untuk membeli sarapan sahur malahan ia gunakan untuk menanggung
perjalannya ke kota.
“Bruss..” Terdengar suara
mobil melintas dari kejauahan.
“Alhamdulillah.” Desahnya sambil mengusap keringat yang meluncur di
kening hitamnya. Tangannya mulai melambai-lambai ke atas-bawah untuk memberhrntikan
kendaraan umum itu. “ke kota pak?” Si supir hanya mengayunkan tangannya sebagai
isyarat agar Achmad segera naik.
Dengan lamban angkot melintasi setiap jalanan. Sampailah kini ia di
perbatasan antara kota dengan desa. Ini adalah kali pertamanya ia memasuki
dunia yang tak pernah ia temuai sebelumnya. Dunia yang begitu berbanding
terbalik dengan tempat tinggalnya di desa. Kehidupan sepi yang hanya di
tinggali oleh beberapa keluarga yang bahkan dapat dihitung dengan waktu
relative cepat, dimana penduduknya adalah mayoritas masyarakat miskin dan
terbelakang. Bukankah ini seakan-akan mimpi yang baru saja terkabul, kota
benar-benar indah nan mewah. Gedung-gedung menjulang tinggi hampir saja
mencakar langit, kendaraan-kendaraan mewah berkeliaran kesana kemari, manusia
yang mondar-mandir sungguhlah rapi penampilannya. Hanya saja perlu disayangkan
bahwa wanita-wanita disini tak pernah dijaga, aurat dibuka lebar-lebar, dan
bergaul dengan pria tanpa memahami syari’at agama islam. Padahal aku yakin
kebanyakan mereka adalah orang-orang muslim. Achmad hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya karena merasa begitu prihatin.
“Turun mana mas?” Tanya supir.
“Eemm.. pak toko roti brownies disini mana ya?”
“ya banyak sekali to mas.”
“boleh di antar ke salah satunya ya pak?” mobilpun terus melaju
hingga sampai di depan toko brownies terdekat. Matanya terbelalak melihat
besarnya toko yang berdiri di depannya. Bagian paling atas terpampang jelas
“SWEET BROWNIES” digantungkan dengan paku raksasa yang dikaitkan sebuah rantai
raksasa pula. Di dalam etalase berbaris rapi roti-roti brownies dengan berbagai
bentuk dan rasa masing-masing. Aku mulai ragu untuk membelinya, berapakah harga
sekotak brownies, sudah barang tentu harganya sebesar bangunan toko roti ini.
Ah.. apakah aku yakin, apakah mereka akan bersedia melayaniku dengan pakaian seadanya
seperti ini.
“Assalamu’alaikum mbak.”
“Emm.. Wa’alaikum, emm.. salam.” Jawab salah satu pelayan tak
percaya.
“Mbak boleh beli brownies.”
“Emm.. I iiya.”
“yang di atas itu berapa ya mbak? Rasa coklat bukan?”
“yang mana mas?” sambil mencari-cari brownies yang di maksud oleh
lelaki itu. Tangan Achmad menunjuk salah satu brownies yang di selimuti dengan
coklat meleleh yang dibekukan.
“Oh, yang itu 75.000 mas.”
“apa! 75.000 mbak?” Achmad tercengang mendengar jumlah rupiah yang
disebut pelayan. Aku memang memiliki uang sejumlah itu, namun aku sudah
mengumpulkannya selama sebulan, mungkinkan akan ludes begitu saja karena
sekotak brownies. “Emm.. iya makasih mbak, saya tidak jadi beli.” Dengan wajah
tertekuk lemas, pandangan menunduk ia pergi menjauh dari SWEET BROWNIES, ia
daratkan pantatnya pada sebuah kursi di seberang jalan.
“Allahuakbar.. Allahuakbar..” suara adzan menggema memenuhi seluruh
wilayah kota. Achmad tersentak dari lamunannya, kemudian di ambilnya air
mineral sebagai bekalnya untuk berbuka. Segera ia teguk benda cair itu
dalam-dalam dan beranjak dari bangkunya mencari masjid untuk menunaikan ibadah
shalat maghrib. Sesampainya disana segera ia mengganti baju kusamnya dengan
sarung suci dan mulai berdiri tegap
seraya bertakbir.
Setelah sholat Achmad duduk dengan kedua kakinya di tekuk sambil
tangan menengadah layaknya seorang bawahan meminta belas kasih kepada
atasannya. Berdo’a meminta keselamatan bagi seseorang yang amat di cintainya.
Tak akan lama lagi aku akan datang membawakan brownies impiannya, dengan segera
ia akan memberi senyuman terindah meskipun amatlah berat baginya. Namun,
tiba-tiba Achmad terdiam seraya merenung, apakah aku akan membelinya dengan
uang tabunganku selama satu bulan, padahal kebutuhanku bukan hanya sebuah kue
manis belaka. Ada hal penting yang harus aku perjuangkan.
Lalu tujuanku datang ke sini untuk apa jika tidak karena dia. Aku
harus mendapatkan brownies itu meski tubuh ini harus bekerja lebih keras.
Bagaimana tidak, hanya sejumlah itulah sisa harta bendaku. Segera Achmad
beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke SWEET BROWNIES untuk membeli kue
coklat lezat itu.
“terimakasih mas, silahkan datang kemari kembali.” Tutur pelayan
itu. Tanpa banyak berfikir Achmad melangkah menjauh darisana. Ia hanya
memandang kue coklat itu dengan mata berbinar. Aku akan membawakan ini padamu
sayang, aku sudah tak sabar untuk memandang tawa bahagiamu.
Hari semakin gelap, bulan semakin terang sinarnya dan suasanapun
semakin ramai. Seperti inikah kota, didesa jam segini sudah tiada orang yang
berkeliaran kesana-kemari, pintu sudah terkunci, gorden-gorden telah menutupi
seluruh jendela kaca, hanya jangkriklah yang selalu setia berirama dengan suara
krik..kriknya. Sedangkan disini lampu semakin terang, berbagai club juga sangat
penuh pengunjung, apalagi kendaraan terus menerus beroperasi seakan tiada kata
lelah dalam benak pengemudinya.
“oh.. perutku.” Desah Achmad ketika merasakan lilitan kelaparan
dalam lambungnya. Sejak pagi ia tak memakan apapun kecuali air, dengan sedikit
ragu ia mengambil sepotong dari beberapa potong kue yang telah di belinya.
Setidaknya aku adalah manusia yang membutuhkan makanan untuk bertahan hidup,
Allah pun tak akan senang melihatku terlalu menyiksa diri sendiri.
Kini Achmad telah sampai di perbatasan antara desa dengan kota dan
merebahkan diri pada kursi kayu depan sebuah warung nasi. Matanya memandang
bulan sabit yang dikelilingi dengan gemerlap bintang yang meriah. Pandangan
jauh menerawang hingga ia pun terbawa ke dalam alam bawah sadarnya.
“hu..hu..hu” Achmad terjaga ketika mendengar sebuah suara tangis
yang mengganggunya. Ia pun mulai mengendap-endap mencari asal suara itu,
matanya tajam mengawasi sekeliling.
“Hai..” seorang gadis cilik duduk dengan posisi telungkup sambil
membenamkan wajah pada kedua kakinya.
“siapa lek”
“kamu kenapa?”
“aku lapar lek, sehari ini ibuku tidak memasak apapun.”
“Emm..” berfikir sejenak. “ini ada kue roti, kamu makan ya bareng
sama ibumu.”
“beneran lek? Terimakasih.” Achmad memberikannya separuh kue
brownies yang dibelinya tadi. Gadis itupun begitu gembira dan segera mengambil
makanan dari tangan Achmad seraya berlari kedalam rumahnya meninggalkan Achmad
kemudian berseru. “mak.. mak.. aku punya makanan.”
“bruuss..” Suara mobil terdengar berhenti dekat dengan Achmad.
“Achmad! Ngapain kamu?” seorang pria dewasa memanggilnya, kemudian
Achmad pun berbalik mengarah pada suara itu.
“eh pak haji. Ini pak dari kota.”
“ngapain le..? ndak pulang kamu?”
“ini mau pulang pak.”
“naik apa? Sini bareng pakdhe.”
“terima kasih pak haji.” Haji Abdullah adalah seorang kepala desa
di tempat Achmad tinggal. Beliau merupakan salah satu orang terkaya di desanya.
Meskipun begitu Haji Abdullah bukanlah orang yang sombong melainkan begitu
dermawan terhadap warganya.
“mana orangnya nak?”
“tadi disini bu..”
“siapapun dia semoga Allah membalas kebaikannya.” Tutur ibu gadis
kecil yang baru saja mendapatkan brownies dari Achmad.
Perjalanan cukuplah jauh hingga Achmad sampai dirumahnya pada pukul
Sembilan malam.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam abang.” Suara mungil itu terdengar begitu
sumringah menyambut kedatangannya.
“Anis sayang, gimana kabarnya? Ini abang belikan kue kesukaanmu.”
“Ah! Abang trimakacih.” Kata Anis. Ia adalah adik kandung Achmad yang
masih berumur 3 tahun. Anis merupakan satu-satunya harta berharga miliknya
setelah ayahnya meninggal karena penyakit yang menggerogotinya. Ibu Achmadpun
juga telah pergi setelah melahirkan Anis. Mereka tinggal bersama di rumah
peninggalan ayahnya dan menyambung nyawa dengan pekerjaan sebagai buruh tani di
desannya. Sudah lama Achmad mengumpulkan uang agar adik kesayangannya dapat
bersekolah di taman kanak-kanak, namun harapannya seolah telah pupus karena
sakit yang di derita Anis. Seminggu lalu Anis mengalami kecelakaan yang
mengakibatkan kakinya terluka parah. Karena berasal dari keluarga tak punya,
akhirnya Achmad tidak membawanya ke rumah sakit dengan alasan biaya yang tak mumpuni.
Ia hanya merawat Anis dengan obat seadanya.
Selama beberapa hari sekitar 7 hari setelah kejadian itu, kaki Anis
tak menunjukan perubahan, malah semakin menjadi dan tubuhnya semakin menunjukan
kelemahan hingga Anis tak mampu beranjak dari ranjangnya. Tanpa banyak berfikir
Achmad segera pergi ke kota untuk membeli kue kesukaan Anis. Sejak dulu gadis
cilik itu tak pernah sekalipun merasakan kue lezat yang bernama brownies.
Sesekali ia meminta pada kakaknya agar bersedia memberinya secuil saja, namun
apalah daya Achmad begitu miskin, membeli nasipun begitu berat.
Selama kepergiannya ke kota Achmad menitipkan Anis kepada
sahabatnya Kadir agar merawatnya dengan baik.
“Anis sudah pulih Dir?”
“Alhamdulillah, bisa kamu lihat sendiri Mad. Dia sudah bisa
berjalan dan tertawa seperti itu. hanya saja lukanya tidak menunjukan perubahan
baik.”
“sudahlah, dia pasti sembuh Dir.”
“amin.”
Keesokan paginya sebelum waktu sahur tiba Achmad bangun lebih pagi,
entah ia terjaga dari tidurnya tanpa alasan yang jelas. Kemudian mendirikan
sholat tahajjud dan mampir ke kamar Anis untuk melihat kondisinya.
“Anis, yuk! Sahur. Abang kemarin beli ayam lho.” Gadis itu tetap
ada posisinya. “Anis sayang. Nggak pengen ayam?” panggil Achmad lagi. Tangannya
mulai menyentuh kening Anis dan mengayun-ayun lembut badan gadis kecil itu.
betapa terkejutnya ia mendapati adiknya bersuhu begitu dingin tanpa memberi
gerakan sedikitpun.
“Anis! Bangun dek.” Jari telunjuknya menyentuh hidung Anis,
beberapa saat kemudian. “Innalillahi wainna ilaihi raji’un.” Achmad memeluk
mayat adiknya rapat-rapat, air matanya mengalir membasahi pipi kasarnya.
“Assalamu’alaikum.” Kadir datang membawakan ayam pesanan Achmad.
Namun tiada jawaban satu pun dari pemilik rumah hingga ia mengucapkan salam
sampai tiga kali. Belum saja ada jawaban ia pun masuk dan mencari-cari Achmad.
“Mad ini lho ayamnya.” Achmad terdiam dalam tangisannya. Hingga tak
beberapa lama Kadir pun menyadari bahwa Anis telah tiada di dunia ini.
“innalillahi wainna ilaihi raji’un.” Ucap Kadir. Ia mendekati sahabatnya sambil
memeluk Achmad dengan hangat.
“sabar Mad. Sudah waktunya Anis kembali pada penciptanya.”
“biarkan aku menangis Dir.”
“janganlah meratapi kepergiannya, ini sudah takdir yang Maha
Kuasa.”
“aku tak meratapinya Dir, ini adalah ungkapan kasih sayangku
terhadapnya. Tiada orang yang akan merasakan kasih sayang orang lain jika ia
sendiri tak memiliki kasih sayang.” Air matanya terus mengalir hingga membasahi
baju yang di kenakannya.
Prosesi pemakaman di laksanakan pada pagi harinya. Kini aku
hanyalah sebatang kara tanpa seorangpun saudara. Setelah kepergian dua
bidadariku kini bidadari yang paling ku cintai telah menyusul mereka. Namun,
Allah telah memberiku seseorang yang bersedia menyayangiku dengan sepenuhnya,
dialah pak haji Abdullah. Di umurku ke 13 tahun ini beliau menganggapku
layaknya anak kandungnya, membiayai sekolahku yang sempat terputus, dan
membiayai segala kehidupanku. Mungkin, karena beliau tak memiliki seorang anak
pun sehingga beliau begitu menyayangiku.
***
baca juga : cerpen semanis brownis
Belum ada tanggapan untuk "CERPEN_Semanis Brownis"
Posting Komentar